abarce

Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Tambang Gubernur Maluku Utara

Sherly Djoanda, Gubernur MAluku Utara.(foto ist)

Ternate, abarce - Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoanda Laos, tidak hanya dikenal karena paras cantik dan kepiawaiannya di panggung politik. Sejak berkuasa, bisnis tambang keluarga yang dekat dengan isu kerusakan lingkungan justru semakin menguat. Namun, langkahnya kini mulai dikaitkan dengan dugaan konflik kepentingan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengungkap bahwa Sherly bukan sekadar aktor politik, melainkan juga pebisnis tambang yang terafiliasi dengan jaringan perusahaan penguasa lahan dan sumber daya alam di provinsi tersebut.

"Temuan kami menunjukkan pola dukungan pemerintahan Sherly terhadap korporasi tambang, meskipun warga harus menghadapi dengan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, serta kehilangan ruang hidup akibat serbuan industri ekstraktif, seperti di Maba Sangaji, Halmahera Timur. Atau Pulau Obi dan Halmahera," papar Melky, Jakarta, Kamis (30/10/2025).

Laporan JATAM bersama Simpul JATAM Maluku Utara berjudul “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara” mengungkap jejaring bisnis keluarga Sherly yang menguasai berbagai jenis tambang di provinsi tersebut.

Beberapa perusahaan utama yang disebut antara lain PT Karya Wijaya (tambang nikel di Gebe), PT Bela Sarana Permai (tambang pasir besi di Wooi Obi), PT Amazing Tabara (tambang emas), PT Indonesia Mas Mulia (tambang emas), PT Bela Kencana (tambang nikel), serta sejumlah entitas lain di bawah kelompok keluarga Laos - Tjoanda.

Menurut Melky, struktur kepemilikan dan jabatan di perusahaan-perusahaan itu menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan antara posisi Sherly sebagai pejabat publik dan keterlibatan bisnis keluarganya.

Perubahan signifikan terjadi di PT Karya Wijaya pada akhir 2024, setelah Sherly menjadi pemegang saham mayoritas 71 persen, menggantikan suaminya, Benny Laos, yang meninggal akibat ledakan kapal pada 12 Oktober 2024. Tiga anak Sherly mendapat porsi masing-masing 8 persen saham, menandai transisi kendali bisnis keluarga.

Selain itu, Sherly juga tercatat sebagai direktur dan pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, induk dari berbagai lini bisnis keluarga Laos. Sementara kepemilikan mendiang suaminya masih tercatat di beberapa anak perusahaan, seperti PT Bela Kencana (40 persen), PT Bela Sarana Permai (98 persen), dan PT Amazing Tabara (90 persen).

Melky juga menjelaskan bahwa PT Bela Co menguasai 30 persen saham di PT Indonesia Mas Mulia, yang 85 persen sahamnya dikuasai oleh Bela Group. Anggota keluarga lain, seperti Robert Tjoanda, memiliki saham kecil 1 persen, menandakan bahwa jaringan perusahaan ini terintegrasi dalam lingkar keluarga besar.

Wilayah operasional perusahaan yang dikendalikan Gubernur Sherly tersebar di berbagai titik strategis Maluku Utara.
PT Karya Wijaya misalnya, mengelola dua konsesi nikel di Pulau Gebe (500 hektare, izin 2020) dan Halmahera (1.145 hektare, izin Januari 2025). Izin terakhir itu diterbitkan bertepatan dengan masa Pilgub 2024, ketika Sherly mencalonkan diri menggantikan suaminya.

Selain nikel, keluarga Sherly juga aktif di sektor emas dan tembaga melalui PT Indonesia Mas Mulia (4.800 hektare di Halmahera Selatan), serta tambang pasir besi melalui PT Bela Sarana Permai (4.290 hektare di Pulau Obi).

"Potensi pelanggaran kepentingan muncul dari tumpang tindih kewenangan eksekutif dan kepentingan ekonomi," lanjut Melky.

Ia menambahkan, pembaruan izin konsesi nikel PT Karya Wijaya kerap dilakukan saat masa transisi pilkada dengan prosedur yang diduga tidak sesuai aturan.
Beberapa di antaranya masuk sistem MODI (Minerba One Data Indonesia) tanpa proses lelang, izin PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) belum lengkap, serta tidak adanya jaminan reklamasi.

"Investigasi DPR dan dorongan masyarakat sipil, menunjukkan pengawasan terhadap operasi perusahaan milik keluarga kepala daerah sangat lemah. Potensi besar terjadi pelanggaran regulasi dan kehilangan penerimaan negara," ungkapnya.

Dampak ekologis dan sosial dari operasional tambang milik keluarga Gubernur Sherly disebut cukup serius. Warga Pulau Obi dan Halmahera Selatan melaporkan deforestasi masif, pencemaran air sungai, krisis air bersih, hingga konflik lahan akibat tumpang tindih konsesi.

"Telah terjadi deforestasi di Pulau Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, krisis air bersih, dan konflik di Pulau Gebe. Akibat tumpang tindih klaim konsesi," kata Melky.

Indikasi yang ditemukan JATAM menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi keluarga Gubernur Sherly memberi insentif terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dikendalikan pejabat publik.

Dari sisi hukum, kondisi ini diduga menimbulkan pelanggaran etika dan potensi konflik kepentingan karena rangkap jabatan kepala daerah sebagai pemegang saham perusahaan swasta.

Melky menegaskan, praktik tersebut berisiko melanggar sejumlah aturan, seperti UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah, serta Peraturan KPK yang melarang konflik kepentingan dan rangkap jabatan bagi pejabat publik.

"Praktik semacam ini berisiko melanggar aturan formal dan merusak kepercayaan publik," pungkasnya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak