![]() |
Asrul Umarama,Pegiat PILAS INSTITUTE |
Menurut tokoh Reza A. A. Wattimena Datuli yang dimuat pada blognya (20 Januari
2015) menulis “moralitas itu berbahaya” melontarkan gagasan yang begitu keras
akan moralitas yang terjadi pada diri seseorang apa bila tak mampu mengontrol
dengan baik. Maka, moralitas menghasilkan semacam neurosis didalam pikiran manusia.
Manusia pasti tidak luput dari salah, tetapi sebaliknya menjadi dosen atau guru
adalah pendidik.
Reza menekan
pentingnya moralitas sebagai pangkal
pikiran yang jernih. Sama halnya dengan Durkheim, yang mengatakan moralitas
sebenarnya dikekang oleh struktur sehingga individu dengan sendirinya akan
mengikuti sistem yang ada.
Balik kita
mengikuti pernyataan Reza dan Durkheim, melihat kondisi yang terjadi di perguruan tinggi,
para Dosen yang menawarkan diri untuk membuat proposal skripsi dan mahasiswa. Apakah
mereka bermoral,? Kenapa pihak universitas tidak mengambil langka pencegahan, Jangan-jangan pihak kampus
melegitimasi hal tersebut.
Sebagaimana Kita tahu bersama bahwa kampus adalah
tempat menimbah ilmu, memperbaiki moral yang menyimpang tetapi, pada kenyataan terjadi kejahatan
yang terselubung dengan begitu rapi, dan terkesan didiamkan pihak oleh kampus. Kejahatan akademik demi mendapatkan imbalan
dari mahasiswa. Mengutip perkaatan KH.
Ahmad Dahlan, pribadi Muhammadiya,” Hiduplah Muhammadiyah jangan cari hidup
dari Muhammadiya.” Serta moto Rektor “
membaca, berdiskusi dan bergerak” menjadi pegangan untuk mengasah intelektual
Perguruan Tinggi, namun
pada kenyatanya tidak demikian.
Persoalan tentang masalah-masalah kampus banyak yang tersembunyi, mereka tidak pernah
menyelesaikan masalah itu. Rektor pun hanya diam, karena Rektor tidak
punya peran dalam Dunia kampus. Apakah masalah yang selama ini terjadi di Perguruan Tinggi itu
masala kecil?
Sementara masalah yang terjadi di Universitas banyak yang harus diselesaikan, fungsi seorang petinggi
kampus harus bersifat hakiki.
Karena, sangat berpengaruh dalam
penentuan keberhasilan dengan
menjalankan program kampus. Jadi, mereka
hanya mendatangkan kebijakan di kampus. Pergerakan, yang suda terjadi di kampus sudah sangat begitu fatal.
Perlu kalian ketahui, perilaku buruk ini seharusnya diperangi agar taat pada kesedaran moral. Integritas aktor dalam perespektif, sementara perbuatan yang diperbuat oleh dosen-dosen Perguruan Tinggi hanya memperburuk dirinya sendiri, karena masalah yang selalu mereka buat tidak ada rasa bertanggung jawab sedikit pun.
Namun perlu disadari pula bahwa kesadaran kolektif tidak lepas dari hubungan-hubungan aktor-aktor yang membentuk struktur kolektif.
George C. Homans, mengatakan
struktur bersekala luas hanya dapat dipahami jika kita memahami perilaku sosial mendasar secara memadai
sebab proses pertukaran adalah identik ditingkat individual dan masyrakat (Lihat, Bagong Suyanto dkk, 2001:248).
Kekuatan struktur sangat dipengaruhi oleh relasi pertukaran antar aktor yang
menggerakan. Perilaku menyimpang kemudian hanya dapat dijelaskan melalui perilaku sosial yang dapat
diamati, bukan oleh proses struktur abstrak.
Sebab sebuah struktur pada dasarnya
memiliki aktor yang mempunyai peran kunci dimana ia berpegang pada sistem yang
mapan atau mengubah sistem. Motif utama ialah agar sistem besar itu terus
bergerak kearah yang lebih progresif atau sebalikny, tergantung aktor yang
menggerakan.
Perilaku menyimpang
yang dipraktekan di dunia akademik oleh
aktor-aktor itu sunggu “biadab”. Sistem normatif. itu justru dijadikan aktor-aktor untuk
melegitimasi kepentingan mereka. Saya justru berpikir, “akademisi” yang
beranikan diri melacurkan pengetahuan boleh jadi dilegitimasi oleh aktor sentral perguruan
tinggi. Asumsi dasarnya ialah membiarkan “pelacur intelektual” di dunia
akademik berarti ikut melegitimasi perilaku tersebut atau sebut saja konspirasi
“intelektual kampus.
Menyimpang begitu terjadi di kampus Perguruan Tinggi sangatlah begitu banyak karena adanya aktor-aktor yang selalu membuat dunia kampus semakin identik dengan korupsi (pencuri). Mereka yang menjadi petinggi seperti (anjing yang menjilat air liurnya sendiri).
Perlu kita sadari
bahwa dosen Perguruan Tinggi hanya menggunakan pemikiran mahasiswa agar mengikuti peraturan kampus
tetapi latar belakang permasalahan yang mereka buat sangat banyak. Petinggi
kampus pun tidak menangani pelanggaran kampus. Sementara, petinggi pun membuat
pelanggaran.
Namun, Setiap dosen yang selalu melakukan atau
melanggar aturan kampus atau kode etik akademik harus dikeluarkan saja, kalau tidak dikeluarkan permasalahan yang terjadi belum begitu besar
akan dia membuat yang lebih fatal.
Maka dosen yang selalu melanggar kode etik harus mendapatkan
sanksi.
Mereka sanksi moral atau sanksi
lainya sesuai dengan peraturan undang-undang (pasal 17.
1. Setiap dosen dan tenaga
pendidika,
terbukti melanggar kode etik akademik dikenakan sanksi moral atau sanksi lainya
sesuai dengan peraturan dengan perundang-perundang yang berlaku.
2. Pejabat yang
berwewenang,
memberikan sanksi moral adalah pengurus yayasan, pimpinan universita/fakultas.
Dan mereka yang
telah melakukan pelenggaran atas kode etik akademik harus diturunkan karena pimpinan yang sudah berani meramba atas
melalukan pelanggaran harus dikeluarkan dari kampus Perguruan Tinggi.Kampus
harus mengambil peran untuk memerangi praktik-praktik kejahatan akademik yang
selama ini sudah dianggap sebagai hal biasa. Bila hal ini dibiarkan, kampus dan
dunia akademik boleh jadi hanyalah mesin penghasil para kapitalis, dimana para akademikus yang
malas berpikir, malas berkarya, tetapi mengeruk keuntungan dengan cara paling bebal.
5. Jika dosen yang
melakukan pelanggaran, apa dampak buruknya pada mahasiswa? Dan apa dampak
buruknya pada kampus?
Sebagai mahasiswa, harus ketahuai bahwa setiap kali dosen melakukan pelanggran, mereka semena-mena
anggap dirinya tidak bisah yang mengatur. karena disamping itu, mereka menganggap mahasiswa tidak
bisa mengatur mereka. Dampak buruk mahasiswa melakukan
demonstrasi akan mendapatkan masalah yang begitu besar karena
peran dosen akan
mempersalahkan ke nilai, proposal, atau skripsi.
Investigasi institusi secepatnya mengambil langkah untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kasus ini bagi saya bukan hal baru lagi di dunia akademik. Pertanyaan kenapa Universitas terlambat untuk menangani kasus tersebut? Padahal kasus ini sangat marak jejak lama. Apakah institusi juga sengaja membungkam persoalan tersebut. Dalam aturan akademik suda jelas, bahwa jika ada dosen yang membuat proposal dan skripsi, maka sanksinya dosen yang bersangkutan akan dipecat dari kampus. Begitu juga dengan mahasiswa, dimana gelarnya serjana dicabut dengan menyuruh dosen untuk membuat proposal dan skripsinya tersebut. Jika sanksinya begitu tegas, dan dapat mengancam masah depan seorang intelektual yang melakukan plagiarisme, kenapa tidak ditegaskan oleh institusi bermasalah. Padahal sudah diatur dalam kententuan akademik. Jika perdebatan sebagian besar para intelektual tersebut tidak ditindak lanjut oleh institusi, maka apa jadinya institusi kita.
Dampak yang terjadi,
kepada mahasiswa akan melakukan demonstrasi terhadap pimpinan. Tetapi, pimpinan
tertinggi menyuruhkan dosen-dosen untuk memberikan nilai buruk pada
mahasiswanya. Tetapi, mereka tidak sadari bahwa apa
yang dilakukan itu benar atau tidak benar. Karena,
pimpinan disatu organisasi
tidak ada bawahan untuk menegur atau memberitahu apa yang diperlakukan itu salah. Watak dosen yang saat
ini bekerja di Perguruan Tinggi
mereka hanya
mebahayakan mahasiswa.
Kampus harus mengambil peran untuk memerangi praktik-praktik
kejahatan akademik yang selama ini sudah dianggap sebagai hal biasa. Bila hal
ini dibiarkan, kampus dan dunia akademik boleh jadi jadi hanyalah mesin
penghasil para kapitalis, dimna para akademikus yang malas berpikir, malas
berkarya, tetapi mengeruk keuntungan dengan cara paling bebal. Karl Mark (
1818-1883) dengan pesimis, jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa pendidikan
era masyarakat industri sebenarnya hanya diposisikan sebagai objek kapitalis (
Haralambos and Halbron, 2024 ).Praktik kejahatan akademik ini akan terus
berulang, karena lemahnya struktur yang membebaskan, dan tidak tegas. Birokrasi
kampus harus menanamkan nilai-nilai kental yang memaksa, sejalan dengan
komitmen bersama yang mengharapkan bersih dari praktik-praktik kejahatan tersebut
(Kejahatan Dunia Intelektual).
Dalam lingkar
persoalan ini, Perguruan Tinggi harus memulai berjuang membrantas praktik-praktik kejahatan akademik
bila memang terdapat “isu-isu” yang beredar dilingkungan kampus selama ini
terjadi dan memiliki bukti
kuat. Bole jadi,
“isu” itu mengandung kebenaran. Karena dunia kampus dan akademik harus
diselamatkan, kampus Perguruan
Tinggi memikul beban nilai yang tidak kecil, yakni membawah kepercayan,
kemasalahatan dan poros pencerdasan kamanusian.Tidak dapat dibayangkan bila
kampus Perguruan Tinggi suda tidak dipercaya,bagimana tonggak moralitas ditegakan.
Karena lemahnya petinggi kampus, ada sedikit permasalahan mereka tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di dunia akademik. Contohnya yang terjadi pada saat kemarin di Fakultas Hukum seorang dekan yang sudah melanggar peraturan kampus karena ia telah berani mengambil sogokan liar (pungli). Hal yang terjadi itupun petinggi Kampus tidak bisa menangani, apaka menjadi seorang aktor hanya berdiam, rektor ia tidak memiliki peran sedikit pun didunia kampus Perguruan Tinggi. Pernah terjadi sejumlah mahaiswa Fisip naik Proposal pada saat malam? Dekan Fisip berani mebuat peraturan baru di kampus. Kebijakan yang dibuatkan Dekan Fisip suda melanggar aturan Hukum.
Jadi,
seorang pemimpin harus punya peranan dilapnagan daripada itu pemimpin harus
bisa untuk mengambil satu keputusan, yang mana akan bisah menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di dunia kampus. Seorang pemimpin atau petinggi, harus punya jiwa
intelektual atau otokratikk bahwa pengambilan keputusan bukan hal yang begitu
ringan tetapi seorang pemimpin harus jadikan otokratik sebagai kunci
pengambilan keputusan yang tepat.
Kebijakan masalah kampus, dengan begaimana
caranya untuk menyelesaikan masalah-masalah. Seorang pemimpin harus punya peran dalam satuh organisasi. Pimpinan kampus harus berjiwa peran atau bisa turun tangan ke lapangan menjadikan yang
terbaik untuk Perguruan Tinggu. untuk menyelesaikan suatu masalah yang
terjadi.
Jika Rektor berjiwa
kepemimpian dan berjiwa intelektual ia akan turun dan menyelesaikan masalah-masalah yang telah terjadi di
Universitas. Sementara, manusia yang berjiwa intelektual seperti dosen yang
selalu membuat masalah yang begitu memicu sampai mahasiswa selalu membuat demonstrasi
terhadap kampus. Tejadinya, praktir-praktir kotor yang selalu terjadi pada dunia kampus seperti pungli, naiknya uang sarana, tidak biasa
meminjam gedung Audotirium, berdirinya gedung passca serjana, pekerja birokrasi
tidak tertib.
Rektor tidak mau mengaktifkakan kembali badan eksekutif mahasiswa atau BEM
Universitas . kekerasan terhadap perempuan
dan pekerja membersi kampus tidak di gaji. Permasalahan
ini harus diselesaikan dengan secepat mungkin, agar kampus juga bisa telihat terang.
Pada saat saya
menginjak kaki di Perguruan Tinggi pada tahun 2023, permasalahan
kampus yang begitu banyak dan tersembunyi. Ditahun 2023, kebanyakan masalah- masalah perubahan? dan kenaikan uang sarana.
Dan pada tahun 2024,
baru saya mengetahui masalah- masalah kampus yang begitu fatal
dan mereka hanya menutupi permasalan itu. Karena, hal yang begitu mereka tidak
mau mahasiswa mengatahui tetapi, menjadi seorang mahasiswa harus mencari tahu. Darimana dan kenapa mahasiswa
bisa mengetahui karana kebanyakan mereka yang menjadi seorang dosen/petinggi bisah mengambil
tindakan apa saja yang mereka mau dan mereka buat.
Ditahun 2024,
masalah-
masalah
kampus Perguruan Tinggi semakin banyak dan semakin disororti oleh mahasiswa, media,dan juga
masyarakat. Karena, perbuataan manusia yang manjabat menjadi petinggi atau seorang pemimpin
harus berjiwa organisasional sama
halnya harus memiliki peran akan tetapi
pemimpin yang ada di Perguruan
Tinggi tidak punya
jiwa organisasional atau punya peran sedikit pun namun meraka hanya membuat kesengsaraan kepada
mahasiswa. Bisa dipertanyakan, kampus itu semakin hari sunyi seperti kuburan.
Setiap semester
uang prasarana dan pembangunan naik dan
membuat mahasiswa kepikiran, karena
kampus semakin hari
semaki aneh. mahasiswa selalu mempertanyakan kenapa samapai
uang semester naik terus, baru pada saat meja dan
kursi tidak pantas untuk ada dalam Perguruan
Tinggi dan
pemberantas semakin banyak.
Dibalik kenaikan
harga prasarana, ada permasalahan yang sekian banyak mahasisiwa tidak ketahuai bahwa gedung
Audotrium itu milik Perguruan
tinggi atau milik pribadi atau oknum siapa.
Karena setiap kalih
mahasiswa mengadakan kegiatan untuk peminjaman gedung Audotrium, mereka mengatakan gedung
itu tidak bisa dipakai akan tetapi mereka berani untuk membuka lapangan
bulu tangkis didalamnya itulah menjadin
pertanyaan bagi para mahasiswa.Dan hari ini, telah mendirikan sebuah bangunan passca
serjana. Sementara, anggaran yang mereka mendirikan dengan gedung
passca Serjana anggran dari uang semester mahasiswa, karena universitas tidak
memiliki sedikit pun.
Namun, bukan
berarti dunia kampus yang menampung kaum
epistemik itu suci dari praktik praktik kotor
yang bersingguan dengan profesi mereka. Filsuf Julian Banda (1867-1956)
pada tahun 1927 telah menulis dengan kegeramaan melalui bukunya La Trahison des Clers ( The Batrayal
of the Intellectuals)-Pengkhianatan Kaum Intelektual, sebuah buku yang menghantarkkan para kaum akademisi. Buku ini telah memberikan pelajaran pelajaran berharga,
betapa para kaum terpelajar telah menerapkan praktik praktik kotor yang menodai
hakikat profesi yang disandangnya berkaitan kepentingan kekuasaan politik saat
itu ( Kejahatan Dunia Intelektual ).
Hal yang sama, Syed Hussein
Alatas (1988) melalui buku kecilnya “
intelektual masyarakat berkembang” juga memberikan kritik pedas kedapa para
intelektual yang tidak mampu beberapa di tengah masyarakat berkembang,
dikarenakan kualitas rendah, yang diistilakan babelisme.
Alatas menyebutkan, suatu masyrakat yang
didalamnya para kelompok intelektual tidak berfungsi, akan mengakibatkan
hilangnya tingkat kesadaran dan wawasan atas masalah- masalah pokok. Misalnya vital
yang dihadapi masyarakat berkembang menurut Alatas adalah kemalasan intelektual
itu sendiri (hal. 16-17).
De Javu, praktik
praktik masalalu yang dikonstatir Benda maupun Alatas, saat ini justru sudah berkembang demikian
pesat dengan pelbagai modus. Bukan hanya agen intelektual saja, tetapi kampus
sebagai agensi, atau arena justru, atau justru menjadi bancakan permainan kotor
itu.Tidak main-main, melalui plagiarisme dan praktik praktik:Pembuatan proposal,
skripsi, sehingga tesis begitu merajalela. Tak kala mengerikan terhadap
kalkulasi harga. Ini merupakan kejahatan-kejahatan paling sempurna sebagai mana
kejahatan korupsi.
Di maluku utara, pada
beberapa kampus sala satunya Perguruan
Tinggi menjalankan
praktik praktik dengan secara licin dan lentur, walau belum ada data
riset yang mendukung, tetapi pada lapis bawa ini bergolak menjadi isu kental.
Dari hari ke hari mengalami peluberan, menyandera rasa ingin tahu ketika, lalu
mengalami pengerasan, tetapi kemudian berlalu tanpa jejak, dan seakan hilang
begitu saja.
Disni mereka selalu
nerapkan mahasiswa harus untuk menjaga
nilai tetapi mereka meramba dinding-
dinding kampus beberapa lama.Para dosen sebagai pemilik dominasi pengetahuan
bekerja secara rapi, mengejarkan tugas akhir mahasiswa( kelas pegawai ) dengan
iming-iming bayaran yang sudah ditentukan. Mahasiswa dan institusi menjadi ajang persikusi oleh
dosen-dosen yang tidak berwatak, dan tidak punya pengetahuan yang begitu besar.
Inilah praktik pelacuran yang terjadi di dunia kampus yang
harus segera dibasmi bila diharapkan dunia kampus menjadi hancur atau penahan
moral kaum terdidik di masyarakat.
Alih-alih dunia
kampus yang begitu sangatlah kejam dan dimana para akademikus yang malas berpikir,
malas berkarya. Tetapi, mengeruk keuntungan cara paling bebal. Perguruan Tinggi telah
sudah meramba kapitalis kampus dan dimana mahasiswa bernaung di kampus yang
seperti hutan rimba karna struktur yang mereka buat tidak seperti mereka
bicarakan. Selalu mahasiswa ditekan dengan nilai-nilai, pada kecerdasan intelektual
mahasiswa masi bisa merujuk. Tetapi, mahasiswa bernaung di Perguruan Tinggi yang suda
seperti neraka.
Lemahnya
kepemimpinan di Perguruan Tinggi dalam mengambil satu kebijakan yang dimana untuk menempuh satu tujuan
organisasi dengan cara otoriter.
Jika seseorng
berkata : “ saya sangat menyenangi pekerjaan saya,” orang itu suda menyatakan sikapnya yang
bersifat positif. Tetapi yang saya ketahaui Rektor di salah satu Perguruan Tinggi ia lebih baik tidak menyukai si B, seseorng telah menyatakan suatu sikap yang bersifat
negatif.
Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikan kenyatan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikannya sebagai kenyataan. Misalnya, menginterpretasikan disiplin para bawahan dalam organisasi. Seorang pemimpin yang otokratik akan menerjamahkan disiplin kerja yang tinggi yang ditunjukan oleh para bawahanya sebagai perwujudan kesetiaan para bawahan itu kepadanya, pada hal sesunggunya disiplin kerja itu didasarkan kepada kekuatan, bukan kesetiaan. Egonya yang sangat tinggi menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi indentik dengan tujuan pribadinya oleh karenanya organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk tujuan pribadi tersebut.