Maba, abarce.com - Lambang negara Garuda Pancasila itu terpajang megah di dinding kantor Sekretariat DPRD Halmahera Timur, lengkap dengan foto Presiden dan Wakil Presiden. Tak jauh darinya, papan nama ruangan berbahan ukiran kayu tertempel rapi di pintu-pintu ruang anggota dewan. Semua tampak berwibawa. Namun, tak banyak yang tahu keindahan simbolik itu ditebus dengan uang rakyat senilai Rp 860 juta.Kantor DPRD Halmahera Timur,(foto Ist).
Anggaran jumbo itu tercatat dalam dokumen resmi Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang dipublikasikan di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) LKPP. Di dalamnya, pengadaan Burung Garuda, foto Presiden dan Wapres, serta papan nama ruangan dicantumkan sebagai satu paket konsolidasi. Nilainya: Rp 860 juta, bersumber dari sembilan kode pagu APBD tahun anggaran 2025.
Tak ada rincian jumlah unit. Tak ada penjelasan spesifikasi teknis. Semuanya dibungkus dalam narasi umum bertajuk barang pengadaan melalui e-purchasing.
“Sangat tak wajar. Belanja lambang burung Garuda, Foto Presiden dan Wakil Presiden Plus Papan nama Ruang DPRD dengan Nilai nyaris Satu Miliar, "kata Agus Salim R. Tampilang, praktisi hukum Maluku Utara.
Agus menyebut pola seperti ini kerap digunakan sebagai celah praktik mark-up anggaran, dengan memanfaatkan celah lemahnya pengawasan publik dan model e-purchasing yang cenderung tertutup. Ia menyebut proyek semacam ini sebagai "pengadaan kamuflase" tak menyentuh masyarakat, tapi menyedot anggaran luar biasa.
Dalam dokumen RUP, disebutkan pengadaan dimulai pada Mei dan pemanfaatan barangnya hingga Desember 2025. Proyek ini tidak memuat aspek keberlanjutan dan nihil nilai sosial yang dapat dinikmati masyarakat langsung.
“Lambang negara itu penting. Tapi tak berarti jadi alasan untuk menggerogoti APBD. Kalau burung Garuda bisa bicara, mungkin dia akan bilang: Saya bukan proyek korupsi,” ujar Agus.
Skema anggaran ini juga diduga menyembunyikan pembengkakan lewat pemecahan pagu ke dalam beberapa kode anggaran yang berbeda. Sebuah metode lama yang jamak digunakan untuk menyulitkan pelacakan oleh publik dan menghindari kontrol DPRD sendiri.
Ironisnya, Sekretariat DPRD yang seharusnya mendukung fungsi pengawasan anggaran justru menjadi pelaku utama dalam belanja mewah. Lebih lanjut kata agus seharusnya anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk pembangunan lain yang lebih menyentuh dengan masyarakat.
“Uang Rp 860 juta itu bisa dipakai bangun jembatan kecil, fasilitas air bersih, atau ruang kelas. Tapi hari ini malah habis untuk foto dan papan nama."tegasnya.