abarce

GPLT-MU Soroti Ancaman Pencemaran Ekologi dari Pabrik Baterai Nasional di Buli

Sedimentasi
Jakarta , abarce - Gerakan Pemuda Lingkar Tambang Maluku Utara (GPLT-MU) menyoroti aktivitas Pabrik Baterai Nasional yang disebut telah mencemari lingkungan di pesisir Tanjung Buli, Halmahera Timur. Sedimentasi berupa lumpur pekat yang berasal dari PT Feni Haltim (FHT) diduga merembes hingga mencemari laut dan sungai di kawasan tersebut.

Sekretaris Jenderal GPLT-MU, Sudiono Dikir, mengaku menyesalkan kondisi itu. Ia menyebut, laut yang dahulu jernih kini semakin keruh. Nelayan mulai mengeluhkan hasil tangkapan yang menurun, sementara petani resah karena sungai kerap membawa lumpur pekat. 

“Seiring berjalannya waktu, hutan di sekeliling desa-desa pun terus tergerus, membuka jalan bagi proyek besar bernama Pabrik Baterai Nasional,” kata Sudiono, kepada media ini.

Sudiono menambahkan, dokumentasi warga pada 25 September 2025 memperlihatkan aliran sungai keruh mengalir ke laut hingga menutupi pesisir dengan lumpur cokelat. Kondisi serupa pernah terjadi pada 8 Agustus 2025. “Namun klaim PT Feni sudah diperbaiki terbukti tidak sesuai kenyataan di lapangan,” ujarnya.

Pabrik Baterai Nasional yang diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada 29 Juni 2025 itu sebelumnya dipuji pemerintah sebagai tonggak sejarah hilirisasi nikel dan transisi energi. Namun, bagi GPLT-MU, proyek raksasa tersebut menimbulkan kecemasan.

Ketua Umum GPLT-MU, Abdur Saleh, menegaskan pihaknya hadir untuk menyuarakan keresahan masyarakat lingkar tambang. “Kami tidak menolak pembangunan dan investasi. Tetapi kami menolak keras jika pembangunan dilakukan dengan cara merusak laut, hutan, dan ruang hidup masyarakat adat Maba dan Buli,” tegasnya.

Abdur membeberkan, nilai investasi proyek ini mencapai sekitar 5,9 miliar dollar AS atau Rp 95–100 triliun. Kompleks pabrik mencakup kawasan hulu di Tanjung Buli, dengan tambang, smelter, HPAL, prekursor, katoda, dan fasilitas daur ulang. Sementara, kawasan hilir berada di Karawang, Jawa Barat, untuk pabrik sel baterai.

Proyek ini berdiri di atas lahan sekitar 3.023 hektar. Kapasitas produksi yang ditargetkan meliputi smelter pirometalurgi 88.000 ton refined nickel alloy per tahun, smelter HPAL 55.000 ton MHP per tahun, pabrik bahan katoda 30.000 ton per tahun, pabrik sel baterai 6,9 GWh per tahun (dengan ekspansi 15 GWh), serta fasilitas daur ulang 20.000 ton logam per tahun.

Serapan tenaga kerja diproyeksikan sekitar 8.000 orang secara langsung dan 35.000 orang tidak langsung. Nilai tambah yang dihasilkan diperkirakan mencapai 48 miliar dollar AS atau setara Rp 779 triliun. Meski demikian, GPLT-MU menilai keuntungan tersebut dibayangi risiko ekologis yang besar.

Abdur mencontohkan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, sebagai bukti nyata dampak tambang nikel yang meninggalkan luka panjang. “PT Aneka Tambang (Antam) yang telah beroperasi di sana sejak 1979 menimbulkan kerusakan hutan lindung, sedimentasi berat di laut, penurunan hasil tangkapan nelayan, hingga reklamasi pascatambang yang minim,” katanya.

GPLT-MU mendorong pemerintah daerah segera melakukan audit lingkungan independen. Mereka juga meminta keterbukaan dokumen ANDAL serta RKL-RPL untuk dipublikasikan kepada masyarakat lingkar tambang.

Sudiono menambahkan, perusahaan yang tergabung dalam Antam Group seperti PT Feni, PT SDA, dan PT NKA wajib melakukan reboisasi, restorasi lingkungan, dan memastikan tidak ada limbah yang dibuang ke laut.

“Perda Tenaga Kerja Lokal yang baru disahkan Pemda dan DPRD harus dijalankan sungguh-sungguh, agar masyarakat Halmahera Timur tidak hanya menjadi penonton,” tutur Sudiono.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak