LBH Ansor Kecam Ketidakhadiran BPN dan Pemkot Ternate: Komitmen atau Cuma Wacana Murahan

Zulfikran A. Bailussy, Ketua LBH Ansor Ternate
Ternate, abarce -Ketidakhadiran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ternate dan Pemerintah Kota Ternate dalam dialog publik sengketa lahan Ubo-Ubo, Kayu Merah, dan Bastiong Karance memicu kemarahan publik. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor menyebut absennya dua institusi tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap komitmen penyelesaian konflik.

Dialog bertajuk “Urgensi Sengketa Lahan Antara Polda dan Masyarakat: Bagaimana Jalan Keluarnya” digelar oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ternate pada Senin (28/7/2025). Forum ini diharapkan menjadi ruang terbuka untuk menjawab konflik agraria puluhan tahun yang tak kunjung selesai. Namun, dua kursi penting BPN dan Pemkot—dibiarkan kosong tanpa penjelasan.

Ketua LBH Ansor Kota Ternate, Zulfikran A. Bailussy, tidak menahan kritik. Ia menegaskan bahwa ketidakhadiran mereka merupakan bentuk pelecehan terhadap rakyat dan menunjukkan bahwa janji penyelesaian hanya sebatas retorika.

“Sekda dan BPN seharusnya hadir untuk memberikan penjelasan resmi. Apalagi Sekda pernah menyatakan akan mengambil langkah tukar guling atau ruislag lahan. Pertanyaannya sekarang: apakah itu benar-benar komitmen, atau sekadar wacana yang diucapkan untuk meredam polemik” ungkap Zulfikran.

Ia menyebut absennya dua lembaga tersebut sebagai pengingkaran terhadap tanggung jawab publik, terutama ketika menyangkut konflik kepemilikan yang menyentuh langsung hajat hidup masyarakat.

“Jika pemerintah yakin pada upaya tukar guling mereka seharusnya berani hadir dan menjelaskan kepada publik melalui dialog ini dan langkah yang diambil harus transparan, rencana ruislag hanya akan menjadi janji kosong yang berpotensi memperkeruh suasana. Dan rencana ruislag ini menjadi siklus wacana yang berulang dari masa pemerintahan yang lalu,” lanjutnya.

Selain itu, Ia juga mengecam keras absennya pihak yang memiliki kewenangan hukum atas status tanah, menyebut ketidakhadiran mereka sebagai sikap pengecut.

“Ini forum akademik dan sosial untuk mencari solusi, bukan ajang saling menyalahkan. Tapi ketika yang punya kewenangan langsung tidak datang, bagaimana publik bisa mendapatkan kejelasan Jika pola ini terus berulang, kami akan datang dengan massa yang lebih besar untuk menggeruduk kantor BPN dan Pemkot,” tegasnya. 

Sengketa bermula dari terbitnya sertifikat Hak Pakai atas nama Polri sejak 1989. Polda Maluku Utara menggunakan sertifikat itu sebagai dasar klaim kepemilikan. Di sisi lain, warga telah mendiami, mengelola, dan membayar pajak atas lahan tersebut selama puluhan tahun. Ketidakhadiran BPN dan Pemkot justru memperkuat kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi.

Baik PMII maupun LBH Ansor memperingatkan bahwa jika pemerintah terus bersikap pasif dan menghindar dari ruang dialog, konflik sosial bisa meledak kapan saja. Ketegangan di lapangan diprediksi hanya tinggal menunggu pemicu.

“Negara punya kewajiban melindungi rakyatnya, bukan membiarkan mereka hidup dalam ketidakpastian hak atas tanah yang sudah mereka diami puluhan tahun,” tutup Zulfikran.


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak